KONTROVERSI GENTING HIGHLAND | WISATA JUDI TERBESAR DI TANAH MELAYU

Berlindung di punggung Banjaran Titiwangsa, 1 800 meter di atas paras laut, Genting Highland tampak bagai negeri awan yang memesona. Jalan berliku dari Gohtong Jaya menuju puncaknya dihiasi kabut tipis, suara kokok siamang, serta hawa sejuk yang sukar ditemukan di dataran rendah Malaysia. Namun di balik panorama romantis, kompleks resor terpadu ini memikul beban ironi: ia adalah destinasi keluarga sekaligus pusat judi legal terbesar di Tanah Melayu. Syahdan, kontroversi pun tak pernah padam—antara syariat dan syahwat, antara ekonomi dan etika.

Kilas Balik: Dari Kebun Stroberi ke Kota Mini Kasino

Mendiang Tan Sri Lim Goh Tong awalnya hanya melihat lahan berhutan rapat. Pada 1965, ia memperoleh konsesi 15 000 acre untuk menjadikannya tempat rekreasi pegunungan. Enam tahun kemudian, Genting Highlands Resort resmi dibuka, lengkap dengan kasino yang mengantongi satu‑satunya lisensi perjudian darat di Malaysia. Keputusan pemerintah federal kala itu diselubungi dalih “mengelola arus devisa dan mencegah capital flight” karena warga Malaya rajin bertaruh di Singapura dan Makau. Namun bagi kelompok Islamis, pemberian lisensi dipandang kompromi telanjang terhadap moral negara yang mayoritas Muslim.

Selama dekade 1980‑an hingga 2000‑an, Genting melakukan ekspansi agresif: hotel First World — pernah tercatat di Guinness World Records sebagai hotel terbesar di dunia — berdiri, diikuti taman tema indoor, lapangan golf, dan pusat konvensi. Rebranding menjadi Resorts World Genting (RWG) pada 2013 menandai transformasi korporat ke model Vegas‑style integrated resort. Ketika Fox dan kemudian Universal Studios sempat terlibat, terbayang masa depan hiburan lintas usia. Akan tetapi, kebenaran ekonomi berbicara: 75 % laba operasional RWG tetap bersumber dari meja bakarat, rolet, dan mesin slot.

Magnet Devisa Vs Gunting Moral

Pemerintah federal memungut “cukai kasino” bertingkat: 25 % atas pendapatan kotor perjudian dan 35 % atas keuntungan bersih. Pada 2024, Kementerian Kewangan melaporkan kontribusi RWG sekitar RM 1,4 miliar—setara 0,4 % penerimaan negara. Di sisi lain, industri pendukung—transportasi, pertanian sayur dataran tinggi, serta UMKM penginapan di perbukitan Bentong—menikmati limpahan ekonomi. Bagaimanapun, 20 000 lapangan kerja langsung dan tidak langsung dihasilkan.

Namun kritik moral menyoroti biaya sosial tersembunyi: kecanduan judi, utang konsumtif, perceraian, dan kriminalitas satelit seperti loan shark. Survei Universiti Malaya 2022 menemukan prevalensi “probable gambling disorder” pada penduduk Kuala Lumpur sebesar 4,8 %; 62 % responden mengaku menghabiskan sebagian besar waktu berjudi di Genting. Meskipun RWG menyediakan program pengecualian diri (self‑exclusion) dan sumbangan CSR terhadap klinik rehabilitasi, efektivitasnya dipertanyakan.

Kaca Pembesar Syariah: Fatwa, Fiqh, dan Realpolitik

Majelis Fatwa Kebangsaan sejak 1983 menegaskan “haram bersekutu dengan kegiatan perjudian”, namun lisensi Genting tetap dipertahankan atas dasar “legacy approval”. Negeri‑negeri di Malaysia punya otonomi urusan agama; beberapa, seperti Kelantan dan Terengganu, melarang secara eksplisit warganya memasuki kasino—sebuah fatwa yang sulit ditegakkan karena perbatasan antarnegeri amat longgar. Aparat lebih mengandalkan pendekatan dakwah dan razia insidental ketimbang sanksi pidana.

Pada 2018, koalisi Pakatan Harapan naik memerintah dengan slogan reformasi; sebagian akar rumput berharap lisensi Genting akan ditinjau ulang. Nyatanya, kabinet waktu itu—dipimpin Tun Mahathir Mohamad—memilih menaikkan cukai kasino 10 poin persentase, bukan mencabut izin, mengisyaratkan uang pajak masih lebih meyakinkan ketimbang janji moral.

Dimensi Lingkungan: Kabut Asli Vs Kabut Knalpot

Kontroversi tidak berhenti pada etika judi. Ledakan pariwisata menuntut infrastruktur besar: perluasan jalan Ulu Yam‑Batang Kali, parkir bertingkat, serta kabel gondola baru. LSM Sahabat Alam Malaysia menuding deforestasi 250 hektare di lereng Gunung Ulu Kali memicu longsor 2021 yang menutup akses utama selama tiga hari. Pihak RWG membalas dengan laporan Penilaian Impak Alam Sekitar (EIA) yang “mematuhi semua regulasi” dan program penanaman 50 000 pohon peneduh.

Tetapi beban karbon pengunjung—lebih dari 15 juta setahun—tetap menimbulkan pertanyaan: mungkinkah konsep “eco‑resort” berdampingan dengan “mega‑kasino”?

Perspektif Wisatawan: Antara Dingin Kabut dan Panas Adrenalin

Bagi sebagian pelancong domestik, Genting identik dengan “Cameron Highlands versi Las Vegas”: cuaca 15°C, udara kering, cocok lari dari terik tropis. Mereka datang demi wahana SkyWorlds, konser K‑pop di Arena of Stars, atau sekadar menyeruput teh panas sambil ber‑OOTD di instagram‑worthy spot seperti Skytropolis.

Namun bagi pelancong Cina daratan, Hong Kong, dan Singapura, daya tarik utama ialah kasino dengan minimum bet relatif rendah bila dibandingkan Makau. Paket “high‑roller” menyediakan jet pribadi dari Senai, suite Palace Hotel, hingga personal butler. Inilah ironi terjelma: negara Muslim menawarkan surganya penjudi Asia.

Jalan Tengah: Regulasi Lebih Cerdas, Edukasi Lebih Masif

Apakah menutup Genting adalah solusi? Sejarah menunjukkan larangan total kerap memindahkan perjudian ke pasar gelap atau online, sulit dipungut pajak dan lebih rentan penipuan. Alternatif realistis bisa berupa:

  1. Peningkatan Levy Kesejahteraan – Alokasikan porsi laba kasino langsung ke dana penanggulangan kecanduan, bukan sekadar CSR sukarela.
  2. Teknologi Pembatasan Pintar – Terapkan sistem pengenalan wajah yang memblokir individu di bawah usia 21 tahun dan mereka yang terdaftar program pengecualian, meminimalkan “slip through the cracks”.
  3. Diversifikasi Daya Tarik – Dorong RWG menambah portofolio hiburan non‑judi: hiking terkelola, museum ilmu iklim pegunungan, serta festival film internasional. Semakin banyak opsi, semakin kecil ketergantungan ekonomi pada meja judi.
  4. Kolaborasi Dakwah Moderat – Libatkan lembaga Islam untuk menyediakan “safe space” spiritual di area resort; pendekatan dialogis diyakini lebih efektif ketimbang stigmatisasi.

Penutup: Antara Realitas dan Idealitas

Genting Highland memancarkan paradoks Melayu kontemporer: keinginan meraih kemajuan ekonomi global tanpa menanggalkan kompas moral tradisional. Ia mencerminkan kompromi—kadang canggung—antara fatwa dan fiskal, antara kabut doa dan cahaya neon. Kontroversinya tak akan usai selama manusia masih mau menukar harapan dengan peluang di atas meja hijau.

Pada akhirnya, pertanyaan kritisnya bukan sekadar apakah kasino itu “haram” atau “halal”, melainkan bagaimana negara muslim multietnis mengelola godaan kapital tanpa kehilangan nurani. Genting Highland—dengan segala gemerlap dan gelap—menjadi cermin buram tempat bangsa ini menatap dirinya sendiri. Dan seperti semua cermin, ia tak berbohong; ia hanya memantulkan siapa kita, lengkap dengan konflik, kompromi, serta mimpi yang ingin kita menangkan.